MISTERI DI DESA
Sore itu agak sedikit
mendung, saat seluruh warga desa berlarian menuju kebun bambu dekat desa.
Akupun ikut berlari, bahkan mungkin lebih kencang dari semua orang di desa, aku
berlari sambil tidak bernafas, udara di paru-paru membeku saat otakku taq
memberi perintah bernafas, satu hal yang ada di otakku saat itu, “Gusde belum pulang dari pagi, anak kelas 3
SD itu kemana ?, Gusde ?, adikku”. Terengah-engah kutbrakan badanku di
barisan pagar manusia yang berkerumun, kupukul siapapun yang tak mau minggir,
peduli setan mereka mau marah.
Ada mayat tanpa busana
dengan tangan terikat dipohon bambu, ubun-ubunnya berlubang, masih anak-anak,
jenis kelaminnya laki-laki, tapi bukan adikku. Kuambil nafasku yang sempat
terlupa kembali, dan mencoba keluar dari kerumunan, kulihat sorot mata tajam
orang desa mengarah kepadaku, mungkin mereka yang kupukul dan kudorong tadi, “sorry bro !!!, tadi kesandung batu-bata
untung ada mas bro mas bro didepan kalo nggak waduh bisa runyam, hehe”,
alasan konyol kukeluarkan agar tak jadi masalah panjang, aku harus pulang.
Dirumah sudah ada Gusde
dan Ibu, setelah saling bertukar cerita aku baru tau Gusde main ke rumah bibi
sementara ibu di sawah. Meski hari ini Gusde tidak apa-apa fikiranku tetap
tidak karuan, ini sudah mayat anak kecil yang ke-20 sejak dua bulan yang lalu,
semuanya berjenis kelamin laki-laki. Aku takut hal ini akan menimpa
keluarga-ku, aku takut kehilangan, lebih baik aku saja yang menghilang.
Nama-ku Guslan, nama
yang disingkat menjadi satu sama seperti nama adikku, aku Agus Lanang dan
adikku Agus Dede. Jujur aku ingin sekali mengungkap kejahatan keji ini,
anak-anak tidak berdosa harus mati dengan cara yang mengenaskan seperti itu.
Aku tak mau menunggu sampai kejadian ini menimpa keluargaku.
Pagi hari aku pergi ke
warung nasi di tengah desaku, disana aku pasti dapat beberapa cerita-cerita
menarik menyangkut kejadian itu. Dengan motif membeli segelas kopi hitam aku
duduk diam sambil mendengarkan setiap pembicaraan mereka. Setelah diwarung kopi
aku pergi ke warteg di pinggir desa. Layaknya seorang detektif professional aku
berkeliling desa mendengar cerita-cerita mereka, bahkan rumah para orang tua
korban tidak luput aku datangi sambil melayat aku mendengarkan setiap orang
yang berbicara.
Sampai dirumah kuambil
buku tulis dan pulpen, kutulis semua perkataan orang-orang yang telah aku
dengarkan, hampir dari semua cerita mereka mengarah ke Pak Roman, seorang
petani miskin yang tiba-tiba menjadi kaya raya dalam waktu sekejap.
Pak Roman tidak
memiliki keluarga lagi, istri dan anak-anak mereka mati dalam kecelakaan mobil
satu minggu sebelum pembunuhan berantai terhadap anak kecil dimulai. Mayat
istri dan anak pak Roman sangat mengenaskan, mobil mereka hanya lecet dan
bemper bengkok karena menabrak pohon, namun mayat mereka tidak utuh didalam
mobil yang terkunci rapat. Istri pak Roman lehernya hampir putus dan anak pak
Roman badannya terbelah menjadi dua. Pendapat Polisi mengatakan bahwa itu murni
kecelakaan mobil bukan pembunuhan.
Warga desa yakin bahwa
Pak Roman memelihara pesugihan dirumahnya, seorang petani bahkan pernah melihat
pak Roman berjalan kearah hutan bersama seseorang yang mirip dengan anak
laki-laki pak Roman, namun berjalan merangkak seperti hewan yang berjalan
dengan empat kaki. Beberapa warga desa juga pernah melihat sesosok manusia yang
bergelantungan dipohon pisang dekat rumah pak Roman, tepatnya bergelantungan di
bunga pisang tanpa terjatuh.
Aku yang sudah pernah
merasakan bangku perkuliahan tidak serta-merta percaya dengan cerita-cerita
warga desa tersebut, aku harus dapat membuktikannya. Malam besok aku akan
kesana sendirian, hari ini aku akan istirahat guna menyiapkan tenaga ke rumah
pak Roman yang ada di atas bukit luas pribadinya.
Pagi hari hanya ku
habiskan untuk bengong, memikirkan segala kejadian pasti yang akan aku dapatkan
karena mengendap-endap dihalaman rumah orang lain. Siangnya aku kembali ke
warung kopi untuk mendengarkan percakapan warga desa, ceritanya masih sama,
masih tentang pesugihan yang dipelihara oleh pak Roman, mereka menceritakan
bahwa makhluk pesugihan takut terhadap air seni perjaka dan perawan, serta
takut terhadap daun kelor. Ketakutan pesugihan terhadap air seni perjaka dan
perawan dipatahkan oleh fakta bahwa pesugihan menyukai anak-anak sebagai
persembahan, kecuali pak Roman yang membunuh anak-anak tersebut.
Jam dinding menunjukkan
pukul 7 malam, selesai sembahyang aku menyiapkan perlengkapan seperti senter,
pisau lipat, dan tali. Cukup sedikit saja bawaannya agar tidak terlalu mencolok
orang tua dan warga desa. Setelah berpamitan pada ortu akan menginap dirumah
teman aku berangkat menuju bukit pak Roman. Pada kaki bukit tempat rumah pak
Roman di kelilingi oleh pagar besi bermotif mewah, ada satu pintu dengan gapura
di atasnya beruliskan “selamat datang di kediaman Roman Sulawi”. Pagar tersebut
tidak ditutup dengan benar, jadi aku bisa masuk dengan mudah, hutan di bukit
itu sangat berbeda udaranya dengan hutan diluar pagar, sangat dingin dan sangat
gelap, ntah kenapa cahaya bulan yang sedang purnama saat itu tidak mampu meneranginya.
Dengan penuh semangat
kudaki bukit yang dingin ini, senter satu-satunya penerang jalanku. Sampailah
aku dipagar rumah pak Roman, “sial
terkunci !!” aku berucap dalam hati. Kupanjat saja pagar rumah ini, toh
hanya satu meter semoga aja tidak dilihat penjaga dan pak Roman. Tiba-tiba
setelah kakiku berhasil menginjak tanah halaman rumah pak Roman, ada seseorang
tepat berdiri disampingku, “Pak Roman !!”,
kusapa ia tanpa bisa menutupi rasa kagetku. “Apa
yang kamu cari Guslan ?, pulang !!”, kata pak Roman sambil menyalakan rokok
dji-sam-soe miliknya. Aku dan pak Roman dulu sering bertemu di sawah, kami
saling membantu mengerjakan sawah, mungkin itu yang membuat pak Roman sedikit
santai menghadapiku. “Pulanglah Guslan,
apa yang kamu lakukan disini malam-malam ?”, pak Roman melanjutkan
kalimatnya kepadaku. “Anu pak, saya cuma
ingin menyapa bapak, akhir-akhir ini bapak jarang terlihat di desa….”
Sebelum alasanku bisa kulanjutkan tiba-tiba terdengar suara sangat keras yang
memekakkan telinga, seperti suara kucing tapi 15 kali lebih keras. Entah kenapa
saat suara itu terdengar, pak Roman langsung berlari kearahku sambil berteriak “pulang !!!, sudah malam !!!” dan mendorong
keras badanku, hingga aku terjerebab di
tanah.
Saat suara keras itu berhenti,
posisiku tidak terjerebab lagi melainkan diposisi berdiri semula, namun sakit
akibat terjerebab itu terasa nyata, sungguh pengalaman yang aneh. Sosok pak
Roman sudah menghilang, ntah kemana perginya, apa tadi aku menghayal ya, sakit
ini akibat sugesti hayalanku. Aku tak mau berfikir ke-arah mistis, aku tak mau
ketakutan sediri tapi belum menemukan jawaban yang pasti tentang semua ini.
Kuberjalan kearah rumah
pak Roman, rumah sebesar itu lampunya padam semua, apa yang terjadi dengan
rumah ini ?, kucoba menyenter lewat jendela sambil mengintip keadaan didalam
rumah, “hmm, semua barang tertata rapi,
pak Roman mungkin keluar kota” gumamku dalam hati. Kulihat keadaan disekelilingku
tidak ada siapa-siapa, tapi aku selelu dapat merasakan kalau aku sedang
diawasi, “mungkin ini jebakan”, aku
bergumam dalam hati sambil berlari ke arah pohon yang kurasakan ada orang yang
mengawasiku. “Sial tidak ada orang
ternyata”, gumamku sambil merasa terlalu berlebihan melakukan hal itu. Tapi
hatiku selalu waspada, aku bersembunyi dulu di balik dedaunan dihalaman pak
Roman, siapa tau yang mengawasiku sedari tadi bosan dan menampakkan batang
hidungnya.
Sekitar tiga jam lebih
aku menuggu dan mengawasi keadaan di pepohanan itu, waktu tepat pukul 12 malam,
hingga kudengar suara jeritan anak perempuan dari arah dalam rumah. Kuberlari
kencang kearah pintu depan, kutbrakkan tubuhku kepintu tersebut, ternyata pintu
tidak mau terbuka, “masih terkunci !!, hanya
ini pintu yang ada dirumah ini, berarti anak yang menjerit itu sudah lama
berada didalam rumah, sial aku terlambat !!”, gumamku. Sekali lagi kudobrak
pintu itu dengan keras tapi tidak berhasil, segala usaha kulakukan agar pintu
itu mau terbuka. Saat aku berusaha mencari kawat, paku atau apapun yang dapat
kugunakan untuk mencongkel kunci pintu, pintu itupun terbuka sendiri. Tanpa
berfikir panjang aku berlari masuk kedalam rumah.
Didalam suara jeritan
sudah tidak ada, sangat hening dirumah ini, tidak ada tanda-tanda orang lain
selain diriku. Tercium aroma aneh dirumah ini, aroma amis yang sangat kuat,
seperti aroma darah. Kunyalakan senter yang kupegang, tidak ada noda darah
dilantai, lantainya bersih. Setiap sudut dirumah itu tidak luput dari cahaya senterku,
benar-benar rumah yang mewah dan indah, tapi aroma amis menusuk tetap ada,
sungguh aneh.
Kuberjalan ke-ruang
tengah, disini aroma busuk dan amis sangat kuat tapi tidak ada apa-apa, kuikuti
aroma busuk tersebut dan sampailah aku di sofa besar yang ada diruang tengah,
tak ada apa-apa. Kuputari sofa tersebut, dan “sialan !!!”, teriakku sambil mencoba berlari keluar tapi kakiku
lemas, ingin aku keluar apa daya tubuhku lemah, jantungku terasa berhenti
berdetak.
Kucoba tenangkan
diriku, kupilih berlari atau melihat lebih dekat. “perduli setan !, lebih baik kulihat daripada penasaran selamanya”,
gumamku. “mayat siapa ini ?, sudah
membusuk seperti ini, tapi orang dirumah ini tidak ada yang tahu ?”,
selayaknya aktor polisi di film-film yang pernah kutonton, detail mayat
tersebut kucari mulai dari saku celana dan kantong baju, tapi semua kosong,
kulit mayat ini sudah menyusut dan menghitam, mau muntah rasanya, cairan mayat
keluar kemana-mana. Tidak ada detail yang dapat membuktikan identitas mayat,
selain jenis kelaminnya yang laki-laki, tapi tunggu, ada sesuatu yang terlihat.
Kepala mayat ini kulit bibirnya sudah tidak ada, mungkin sudah menyusut atau
dimakan tikus, terlihat jelas barisan gigi pada mayat ini, ada gigi taring
berwarna emas yang memang terbuat dari emas di sebelah kanan, dan aku tahu
siapa pemilik satu-satunya gigi emas di Desa. Pak Roman, dia sudah mati.
Aku tidak tahu cara
mengetahui penyebab kematiannya, tapi satu hal yang aneh, mayat ini memegang
pistol dengan pengaman tembakan yang terbuka, fokus terhadap kamar tertutup
didepannya. “Apa pak Roman berkelahi
dengan perampok, dan perampok itu berhasil di kurung dikamar ini ?”, seribu
macam pertanyaan yang ada dikepalaku tentang apa yang telah terjadi dan apa
yang ada dikamar itu.
Kuberanikan diriku
berjalan kearah kamar itu, sambil pandanganku tetap mengarah ke arah mayat pak
Roman, takut mayat itu hidup lagi, ketakutan sudah mensugesti diriku. Dengan
gemetar aku berusaha membuka kamar itu, setelah pintu terbuka bau amis tercium
jelas. Kuarahkan senterku berpetualang disudut kamar ini, ada meja pemujaan
tepat ditengah kamar, “benar kata warga,
pak Roman memuja sesuatu”, dalam benakku aku ingin sekali berlari keluar
dan melupakan hal ini, tapi aku masih saja penasaran. Dinding kamar ini penuh
dengan cipratan darah kering, sungguh mengerikan pemandangan dikamar itu.
Ada lubang di atas
plafon kamar itu, lubang yang penuh berisi tulisan-tulisan aneh. Sesaat
kemudian senterku mati, kesialan yang bertubi-tubi baru terasa sekarang,
berusaha aku mencari pintu keluar dari kamar ini tapi tidak ketemu, padahal
kamar ini hanya kamar sempit yang sudah kukelilingi.
Tiba-tiba terdengar
dari arah plafon di atas kepalaku suara menyeret, seperti ada sesuatu yang
bergerak di plafon itu menuju ke arah lubang yang ada di plafon. Satu-satunya
harapanku adalah senterku dapat segera menyala, suara itu terus bergerak
hingga, “bruk !!!”, ada sesuatu yang
terjatuh dari lubang itu ke lantai, suaranya cukup berat.
“Apa
itu yang jatuh ?, manusia kah ?” benakku tidak mau
diam. Saat itu senter menyala, hal yang paling utama kuarahkan bukan sesuatu
itu, tapi arah pintu keluar, namun apa yang telah terjadi, pintunya tidak ada.
Sesaat bisa kulihat ada seseorang berjongkok memblakangi aku disudut sana,
tidak begitu jelas hingga kuarahkan senterku kearahnya. Pemandangan yang
kulihat lebih mengerikan dari film horror manapun, tubuhnya seperti manusia
berbulu dengan leher panjang, kepalanya sudah menoleh kearahku, matanya putih
dengan taring panjang hingga keluar dari mulutnya, dia tampak tersenyum,
ntahlah tubuhku gemetar hingga semuanya hitam. Aku tak sadarkan diri.
Kubuka mataku, “mimpi ?, ini hanya mimpi buruk ?”,
gumamku setelah membuka mata. Ternyata tidak, aku masih diruangan berbau amis
tadi, ini bukanlah mimpi. Senterku ada di pojok ruangan mengarah padaku, aku
tertidur di tengah ruangan, “rasa sakit
apa yang aku rasakan ini”, sembari kuangkat tanganku, tanganku telah tidak
berjari, ingin rasanya aku berteriak, tapi mulutku sakit sekali, pipiku sudah
robek hingga mulutku tidak dapat menutup. Bisa kudengar suaraku sendiri seperti
suara air yang ditiup dengan sedotan. Kuperhatikan sekelilingku, kulihat
makhluk itu sedang memakan jari-jari tanganku, terdengar suara tulang-tulang
patah yang dikunyahnya. Selesai dengan jariku ia kembali menoleh ke arahku,
kali ini dapat kulihat seluruh badan bagian depannya, setelahnya semua kembali
menghitam.
Tersadar kali ini aku bisa
melihat makhluk itu sedang makan, ada orang lain lagi yang kali ini dia makan
??, wajahnya sudah hancur karena di makan makhluk itu, kulihat lagi dan
ternyata itu aku, bisa kukenali dari pakaian yang dipakai mayat itu. Saat
mengetahui aku telah mati ada yang menepuk pundakku, “Pak Roman !!!, apa yang telah terjadi ?”, tanyaku kepadanya, ”awalnya makhluk itu hanya meminta darah
hewan, tapi lama kelamaan ia meminta anakku dan anak-anak yang lainnya, karena
tidak ku sanggupi ia mengancam membunuh kami semuanya, aku tak mengetahui saat
ia ikut naik ke mobil yang ditumpangi istri dan anakku, ia merenggut semua
kebahagiaan dalam diriku”, dari penjelasan pak Roman bisa kuselesaikan
semua misteri ini, Pak Roman memang bersalah karena memakai cara yang tidak wajar
untuk mendapatkan kekayaan, taruhan yang harus dia bayar sangat mahal, dan
bahkan makhluk itu makin menjadi-jadi dengan keluar memburu anak-anak desa.
Pahit rasanya aku harus meninggalkan Ibu dan adikku yang aku sayangi, segala
macam cara akan kulakukan untuk memperingati keluargaku agar pindah dari desa.
Makhluk itu terlalu kuat untuk dikendalikan.
tamat