Jumat, 30 Agustus 2013

BURUNG GAGAK PEMBAWA PESAN

BURUNG GAGAK PEMBAWA PESAN

Dikisahkan terdapat keluarga burung yang bahagia di hutan, setiap pagi menjelang keluarga ini selalu berkicau dengan merdu, berusaha mengabarkan pada sang Matahari dan seluruh isi hutan bahwa mereka terbangun dengan sangat bahagia. Inilah keluarga Gagak yang pertama ada di Bumi, bulu yang tumbuh pada tubuh mereka berwarna-warni dan sangat indah. Penghuni hutan yang lain selalu takjub setiap memandang keindahan yang ada pada keluarga gagak, bisa dikatakan keluarga gagaklah yang paling menawan di hutan.
Terdapat 3 ekor burung dalam keluarga ini, mereka sangat ramah terhadap penghuni hutan yang lain. Karena di hutan tidak ada jenis burung yang lain, jadi para penghuni hutan yang lain sangat bergantung pada keluarga gagak untuk mencari makanan, burung gagak dapat melihat sumber makanan dari ketinggian. Sambil berkicau para gagak menuntun penghuni hutan kearah makanan, semua penhuni hutan terhibur mendengar kicauan mereka. Suatu hari, saat pencarian makanan mereka diterpa oleh hujan badai yang sangat dasyat, keluarga burung gagak hanya bisa bertengger kedinginan di dahan pohon, “hai para gagak !!, bernyanyilah untuk kami yang kedinginan disini, nyanyian kalian dapat menenangkan hati kami saat cuaca seperti ini”, ujar seekor rusa kepada keluarga gagak, “baiklah, kalau kalian memintanya, akan kami nyanyikan lagu terbaik kami untuk menemani kalian !!”, sahut para gagak dengan lantang dan mulailah para gagak bernyanyi, saat itu pula ketakutan para penghuni hutan akan badai sirna.
Suatu hari saat seluruh penghuni hutan sedang asik mencari makanan terdengar suara letusan yang sangat keras, “DORR !!!”, semuanya kaget mendengar suara itu, ntah dari mana asalnya, semua penghuni hutan terdiam sejenak. “ada pemburu datang !!!, pemburu !!!, cepat lari semua !!!”, seekor harimau berteriak sambil berlari tak tentu arahnya.
Esoknya saat pagi datang seluruh hewan berkumpul untuk membahas masalah pemburu yang akan datang ke hutan mereka, pak kelici berkata, “kita harus segera menggali lubang bawah tanah, agar pemburu tidak dapat menemukan kita”, “tapi aku tidak bisa menggali lubang di tanah pak kelinci, sementara kau hanya sendiri, dapatkah kau menggalikan lubang untuk kami semua ?”, ujar pak bebek dari keramaian. “tenang saudara-saudara, kita bisa melewati semua ini kalau kita bersatu, aku punya saran, bagaimana kalau kita merubah warna bulu kita sesuai dengan warna disekitar kita ??, ada kemungkinan kita tidak akan terlihat oleh para pemburu”, ujar pak rubah yang telah berpengalaman mengelabui pemburu dengan cara merubah warna bulunya. Ketiga ekor gagak hanya memperhatikan, situasi seperti ini baru pertama kali mereka hadapi, “aku tidak akan merubah warna buluku, mau berwarna apa ?, seperti batang kayu ?, aku tidak sudi berwarna seperti batang kayu, akulah yang terindah dihutan ini, aku tidak akan dibunuh oleh pemburu, akan kunyanyikan lagu yang indah agar mereka terpesona melihatku, sehingga mengurungkan niatnya membunuhku”, sahut burung gagak yang tertua, dan disetujui oleh saudaranya yang ke-2, namun saudara gagak yang ke-3 tidak sependapat, “wahai abang-abangku yang mempesona, hidup kita berharga, apa salahnya mencoba untuk menyelamatkan diri saat ini, selanjutnya kita kembalikan warna bulu kita”. “kau tidak mengerti saudaraku, tidakkah kau lihat para penghuni hutan saja terpesona dengan keindahan bulu dan suara kita, buat apa kita harus merepotkan diri untuk merusak keidahan ini kalau kita bisa memanfaatkannya untuk mempesonakan para pemburu itu”, sahut burung gagak ke-2. Burung gagak ke-3 terdiam sejenak berfikir, “aku akan tetap merubah warna buluku” ujar burung gagak ke-3.
Karena sudah sepakat para penghuni hutan merubah warna bulu mereka menggunakan cat khusus yang dipinjamkan oleh pak rubah. Burung gagak ke-3 merubah warna bulunya menjadi warna kayu, agar tidak terlihat saat diam di atas ranting pohon.
Para pemburu pun datang di hutan, mereka menembak apa saja yang terlihat oleh mata mereka. Saat itu burung gagak tertua dan ke-2 bernyanyi sambil menari-nari di dekat pemburu, burung gagak ke-3 hanya diam dan mencoba agar tidak terlihat oleh pemburu. Nyanyian dan keindahan kedua ekor gagak mempesona seluruh pemburu, mereka terdiam sambil tersenyum dan bertepuk tangan memperhatikan kedua ekor burung itu beraksi. Saat kedua burung gagak kelelahan dan menghentikan nyanyian mereka para pemburu ikut terdiam, sejenak mereka saling memperhatikan satu sama lain dan, “BRUK !!!”, terdengar suara jaring mengenai tubuh kedua ekor burung gagak tersebut, burung gagak ke-3 hanya bisa melotot melihat kedua saudaranya ditangkap oleh pemburu. “tolong !!!, tolong kami !!!”, penghuni hutan yang lain tidak ada yang berani menolong karena takut dibunuh oleh para pemburu.
Para pemburu telah pergi, tinggallah burung gagak ke-3 sendirian, “pak rubah, pinjami aku cat-mu yang berwarna hitam, tanda berkabungku atas kehilangan para saudara kandung dan kawan-kawan hutanku, aku tidak akan bernyanyi merdu kembali, saat kalian mendengar suara KAAAK-KAAAK!! Itu artinya para saudaraku telah mati ditawan, selanjutnya aku akan tetap bersuara seperti itu saat para pemburu datang dan saat ada kematian di dekatku, mulai saat ini kehadiranku akan menandakan adanya kematian, akan kulakukan apapun untuk memperingati kalian”, kata burung gagak ke-3 sembari menyiram seluruh tubuhnya menjadi warna hitam, dan kemudian terbang menghilang.
Burung gagak terbang mengikuti jejak para pemburu, dan berbunyi saat ada kematian yang dibuat oleh para pemburu, termasuk kematian para saudaranya. Mulai saat itulah gagak dikenal dihutan dengan warna hitam pekatnya dan membawa pesan kematian kepada seluruh penghuni hutan.






























tamat
MISTERI DI DESA

Sore itu agak sedikit mendung, saat seluruh warga desa berlarian menuju kebun bambu dekat desa. Akupun ikut berlari, bahkan mungkin lebih kencang dari semua orang di desa, aku berlari sambil tidak bernafas, udara di paru-paru membeku saat otakku taq memberi perintah bernafas, satu hal yang ada di otakku saat itu, “Gusde belum pulang dari pagi, anak kelas 3 SD itu kemana ?, Gusde ?, adikku”. Terengah-engah kutbrakan badanku di barisan pagar manusia yang berkerumun, kupukul siapapun yang tak mau minggir, peduli setan mereka mau marah.
Ada mayat tanpa busana dengan tangan terikat dipohon bambu, ubun-ubunnya berlubang, masih anak-anak, jenis kelaminnya laki-laki, tapi bukan adikku. Kuambil nafasku yang sempat terlupa kembali, dan mencoba keluar dari kerumunan, kulihat sorot mata tajam orang desa mengarah kepadaku, mungkin mereka yang kupukul dan kudorong tadi, “sorry bro !!!, tadi kesandung batu-bata untung ada mas bro mas bro didepan kalo nggak waduh bisa runyam, hehe”, alasan konyol kukeluarkan agar tak jadi masalah panjang, aku harus pulang.
Dirumah sudah ada Gusde dan Ibu, setelah saling bertukar cerita aku baru tau Gusde main ke rumah bibi sementara ibu di sawah. Meski hari ini Gusde tidak apa-apa fikiranku tetap tidak karuan, ini sudah mayat anak kecil yang ke-20 sejak dua bulan yang lalu, semuanya berjenis kelamin laki-laki. Aku takut hal ini akan menimpa keluarga-ku, aku takut kehilangan, lebih baik aku saja yang menghilang.
Nama-ku Guslan, nama yang disingkat menjadi satu sama seperti nama adikku, aku Agus Lanang dan adikku Agus Dede. Jujur aku ingin sekali mengungkap kejahatan keji ini, anak-anak tidak berdosa harus mati dengan cara yang mengenaskan seperti itu. Aku tak mau menunggu sampai kejadian ini menimpa keluargaku.
Pagi hari aku pergi ke warung nasi di tengah desaku, disana aku pasti dapat beberapa cerita-cerita menarik menyangkut kejadian itu. Dengan motif membeli segelas kopi hitam aku duduk diam sambil mendengarkan setiap pembicaraan mereka. Setelah diwarung kopi aku pergi ke warteg di pinggir desa. Layaknya seorang detektif professional aku berkeliling desa mendengar cerita-cerita mereka, bahkan rumah para orang tua korban tidak luput aku datangi sambil melayat aku mendengarkan setiap orang yang berbicara.
Sampai dirumah kuambil buku tulis dan pulpen, kutulis semua perkataan orang-orang yang telah aku dengarkan, hampir dari semua cerita mereka mengarah ke Pak Roman, seorang petani miskin yang tiba-tiba menjadi kaya raya dalam waktu sekejap.
Pak Roman tidak memiliki keluarga lagi, istri dan anak-anak mereka mati dalam kecelakaan mobil satu minggu sebelum pembunuhan berantai terhadap anak kecil dimulai. Mayat istri dan anak pak Roman sangat mengenaskan, mobil mereka hanya lecet dan bemper bengkok karena menabrak pohon, namun mayat mereka tidak utuh didalam mobil yang terkunci rapat. Istri pak Roman lehernya hampir putus dan anak pak Roman badannya terbelah menjadi dua. Pendapat Polisi mengatakan bahwa itu murni kecelakaan mobil bukan pembunuhan.
Warga desa yakin bahwa Pak Roman memelihara pesugihan dirumahnya, seorang petani bahkan pernah melihat pak Roman berjalan kearah hutan bersama seseorang yang mirip dengan anak laki-laki pak Roman, namun berjalan merangkak seperti hewan yang berjalan dengan empat kaki. Beberapa warga desa juga pernah melihat sesosok manusia yang bergelantungan dipohon pisang dekat rumah pak Roman, tepatnya bergelantungan di bunga pisang tanpa terjatuh.
Aku yang sudah pernah merasakan bangku perkuliahan tidak serta-merta percaya dengan cerita-cerita warga desa tersebut, aku harus dapat membuktikannya. Malam besok aku akan kesana sendirian, hari ini aku akan istirahat guna menyiapkan tenaga ke rumah pak Roman yang ada di atas bukit luas pribadinya.
Pagi hari hanya ku habiskan untuk bengong, memikirkan segala kejadian pasti yang akan aku dapatkan karena mengendap-endap dihalaman rumah orang lain. Siangnya aku kembali ke warung kopi untuk mendengarkan percakapan warga desa, ceritanya masih sama, masih tentang pesugihan yang dipelihara oleh pak Roman, mereka menceritakan bahwa makhluk pesugihan takut terhadap air seni perjaka dan perawan, serta takut terhadap daun kelor. Ketakutan pesugihan terhadap air seni perjaka dan perawan dipatahkan oleh fakta bahwa pesugihan menyukai anak-anak sebagai persembahan, kecuali pak Roman yang membunuh anak-anak tersebut.
Jam dinding menunjukkan pukul 7 malam, selesai sembahyang aku menyiapkan perlengkapan seperti senter, pisau lipat, dan tali. Cukup sedikit saja bawaannya agar tidak terlalu mencolok orang tua dan warga desa. Setelah berpamitan pada ortu akan menginap dirumah teman aku berangkat menuju bukit pak Roman. Pada kaki bukit tempat rumah pak Roman di kelilingi oleh pagar besi bermotif mewah, ada satu pintu dengan gapura di atasnya beruliskan “selamat datang di kediaman Roman Sulawi”. Pagar tersebut tidak ditutup dengan benar, jadi aku bisa masuk dengan mudah, hutan di bukit itu sangat berbeda udaranya dengan hutan diluar pagar, sangat dingin dan sangat gelap, ntah kenapa cahaya bulan yang sedang purnama saat itu tidak mampu meneranginya.
Dengan penuh semangat kudaki bukit yang dingin ini, senter satu-satunya penerang jalanku. Sampailah aku dipagar rumah pak Roman, “sial terkunci !!” aku berucap dalam hati. Kupanjat saja pagar rumah ini, toh hanya satu meter semoga aja tidak dilihat penjaga dan pak Roman. Tiba-tiba setelah kakiku berhasil menginjak tanah halaman rumah pak Roman, ada seseorang tepat berdiri disampingku, “Pak Roman !!”, kusapa ia tanpa bisa menutupi rasa kagetku. “Apa yang kamu cari Guslan ?, pulang !!”, kata pak Roman sambil menyalakan rokok dji-sam-soe miliknya. Aku dan pak Roman dulu sering bertemu di sawah, kami saling membantu mengerjakan sawah, mungkin itu yang membuat pak Roman sedikit santai menghadapiku. “Pulanglah Guslan, apa yang kamu lakukan disini malam-malam ?”, pak Roman melanjutkan kalimatnya kepadaku. “Anu pak, saya cuma ingin menyapa bapak, akhir-akhir ini bapak jarang terlihat di desa….” Sebelum alasanku bisa kulanjutkan tiba-tiba terdengar suara sangat keras yang memekakkan telinga, seperti suara kucing tapi 15 kali lebih keras. Entah kenapa saat suara itu terdengar, pak Roman langsung berlari kearahku sambil berteriak “pulang !!!, sudah malam !!!” dan mendorong keras badanku,  hingga aku terjerebab di tanah.
Saat suara keras itu berhenti, posisiku tidak terjerebab lagi melainkan diposisi berdiri semula, namun sakit akibat terjerebab itu terasa nyata, sungguh pengalaman yang aneh. Sosok pak Roman sudah menghilang, ntah kemana perginya, apa tadi aku menghayal ya, sakit ini akibat sugesti hayalanku. Aku tak mau berfikir ke-arah mistis, aku tak mau ketakutan sediri tapi belum menemukan jawaban yang pasti tentang semua ini.
Kuberjalan kearah rumah pak Roman, rumah sebesar itu lampunya padam semua, apa yang terjadi dengan rumah ini ?, kucoba menyenter lewat jendela sambil mengintip keadaan didalam rumah, “hmm, semua barang tertata rapi, pak Roman mungkin keluar kota” gumamku dalam hati. Kulihat keadaan disekelilingku tidak ada siapa-siapa, tapi aku selelu dapat merasakan kalau aku sedang diawasi, “mungkin ini jebakan”, aku bergumam dalam hati sambil berlari ke arah pohon yang kurasakan ada orang yang mengawasiku. “Sial tidak ada orang ternyata”, gumamku sambil merasa terlalu berlebihan melakukan hal itu. Tapi hatiku selalu waspada, aku bersembunyi dulu di balik dedaunan dihalaman pak Roman, siapa tau yang mengawasiku sedari tadi bosan dan menampakkan batang hidungnya.
Sekitar tiga jam lebih aku menuggu dan mengawasi keadaan di pepohanan itu, waktu tepat pukul 12 malam, hingga kudengar suara jeritan anak perempuan dari arah dalam rumah. Kuberlari kencang kearah pintu depan, kutbrakkan tubuhku kepintu tersebut, ternyata pintu tidak mau terbuka, “masih terkunci !!, hanya ini pintu yang ada dirumah ini, berarti anak yang menjerit itu sudah lama berada didalam rumah, sial aku terlambat !!”, gumamku. Sekali lagi kudobrak pintu itu dengan keras tapi tidak berhasil, segala usaha kulakukan agar pintu itu mau terbuka. Saat aku berusaha mencari kawat, paku atau apapun yang dapat kugunakan untuk mencongkel kunci pintu, pintu itupun terbuka sendiri. Tanpa berfikir panjang aku berlari masuk kedalam rumah.
Didalam suara jeritan sudah tidak ada, sangat hening dirumah ini, tidak ada tanda-tanda orang lain selain diriku. Tercium aroma aneh dirumah ini, aroma amis yang sangat kuat, seperti aroma darah. Kunyalakan senter yang kupegang, tidak ada noda darah dilantai, lantainya bersih. Setiap sudut dirumah itu tidak luput dari cahaya senterku, benar-benar rumah yang mewah dan indah, tapi aroma amis menusuk tetap ada, sungguh aneh.
Kuberjalan ke-ruang tengah, disini aroma busuk dan amis sangat kuat tapi tidak ada apa-apa, kuikuti aroma busuk tersebut dan sampailah aku di sofa besar yang ada diruang tengah, tak ada apa-apa. Kuputari sofa tersebut, dan “sialan !!!”, teriakku sambil mencoba berlari keluar tapi kakiku lemas, ingin aku keluar apa daya tubuhku lemah, jantungku terasa berhenti berdetak.
Kucoba tenangkan diriku, kupilih berlari atau melihat lebih dekat. “perduli setan !, lebih baik kulihat daripada penasaran selamanya”, gumamku. “mayat siapa ini ?, sudah membusuk seperti ini, tapi orang dirumah ini tidak ada yang tahu ?”, selayaknya aktor polisi di film-film yang pernah kutonton, detail mayat tersebut kucari mulai dari saku celana dan kantong baju, tapi semua kosong, kulit mayat ini sudah menyusut dan menghitam, mau muntah rasanya, cairan mayat keluar kemana-mana. Tidak ada detail yang dapat membuktikan identitas mayat, selain jenis kelaminnya yang laki-laki, tapi tunggu, ada sesuatu yang terlihat. Kepala mayat ini kulit bibirnya sudah tidak ada, mungkin sudah menyusut atau dimakan tikus, terlihat jelas barisan gigi pada mayat ini, ada gigi taring berwarna emas yang memang terbuat dari emas di sebelah kanan, dan aku tahu siapa pemilik satu-satunya gigi emas di Desa. Pak Roman, dia sudah mati.
Aku tidak tahu cara mengetahui penyebab kematiannya, tapi satu hal yang aneh, mayat ini memegang pistol dengan pengaman tembakan yang terbuka, fokus terhadap kamar tertutup didepannya. “Apa pak Roman berkelahi dengan perampok, dan perampok itu berhasil di kurung dikamar ini ?”, seribu macam pertanyaan yang ada dikepalaku tentang apa yang telah terjadi dan apa yang ada dikamar itu.
Kuberanikan diriku berjalan kearah kamar itu, sambil pandanganku tetap mengarah ke arah mayat pak Roman, takut mayat itu hidup lagi, ketakutan sudah mensugesti diriku. Dengan gemetar aku berusaha membuka kamar itu, setelah pintu terbuka bau amis tercium jelas. Kuarahkan senterku berpetualang disudut kamar ini, ada meja pemujaan tepat ditengah kamar, “benar kata warga, pak Roman memuja sesuatu”, dalam benakku aku ingin sekali berlari keluar dan melupakan hal ini, tapi aku masih saja penasaran. Dinding kamar ini penuh dengan cipratan darah kering, sungguh mengerikan pemandangan dikamar itu.
Ada lubang di atas plafon kamar itu, lubang yang penuh berisi tulisan-tulisan aneh. Sesaat kemudian senterku mati, kesialan yang bertubi-tubi baru terasa sekarang, berusaha aku mencari pintu keluar dari kamar ini tapi tidak ketemu, padahal kamar ini hanya kamar sempit yang sudah kukelilingi.
Tiba-tiba terdengar dari arah plafon di atas kepalaku suara menyeret, seperti ada sesuatu yang bergerak di plafon itu menuju ke arah lubang yang ada di plafon. Satu-satunya harapanku adalah senterku dapat segera menyala, suara itu terus bergerak hingga, “bruk !!!”, ada sesuatu yang terjatuh dari lubang itu ke lantai, suaranya cukup berat.
“Apa itu yang jatuh ?, manusia kah ?” benakku tidak mau diam. Saat itu senter menyala, hal yang paling utama kuarahkan bukan sesuatu itu, tapi arah pintu keluar, namun apa yang telah terjadi, pintunya tidak ada. Sesaat bisa kulihat ada seseorang berjongkok memblakangi aku disudut sana, tidak begitu jelas hingga kuarahkan senterku kearahnya. Pemandangan yang kulihat lebih mengerikan dari film horror manapun, tubuhnya seperti manusia berbulu dengan leher panjang, kepalanya sudah menoleh kearahku, matanya putih dengan taring panjang hingga keluar dari mulutnya, dia tampak tersenyum, ntahlah tubuhku gemetar hingga semuanya hitam. Aku tak sadarkan diri.
Kubuka mataku, “mimpi ?, ini hanya mimpi buruk ?”, gumamku setelah membuka mata. Ternyata tidak, aku masih diruangan berbau amis tadi, ini bukanlah mimpi. Senterku ada di pojok ruangan mengarah padaku, aku tertidur di tengah ruangan, “rasa sakit apa yang aku rasakan ini”, sembari kuangkat tanganku, tanganku telah tidak berjari, ingin rasanya aku berteriak, tapi mulutku sakit sekali, pipiku sudah robek hingga mulutku tidak dapat menutup. Bisa kudengar suaraku sendiri seperti suara air yang ditiup dengan sedotan. Kuperhatikan sekelilingku, kulihat makhluk itu sedang memakan jari-jari tanganku, terdengar suara tulang-tulang patah yang dikunyahnya. Selesai dengan jariku ia kembali menoleh ke arahku, kali ini dapat kulihat seluruh badan bagian depannya, setelahnya semua kembali menghitam.
Tersadar kali ini aku bisa melihat makhluk itu sedang makan, ada orang lain lagi yang kali ini dia makan ??, wajahnya sudah hancur karena di makan makhluk itu, kulihat lagi dan ternyata itu aku, bisa kukenali dari pakaian yang dipakai mayat itu. Saat mengetahui aku telah mati ada yang menepuk pundakku, “Pak Roman !!!, apa yang telah terjadi ?”, tanyaku kepadanya, ”awalnya makhluk itu hanya meminta darah hewan, tapi lama kelamaan ia meminta anakku dan anak-anak yang lainnya, karena tidak ku sanggupi ia mengancam membunuh kami semuanya, aku tak mengetahui saat ia ikut naik ke mobil yang ditumpangi istri dan anakku, ia merenggut semua kebahagiaan dalam diriku”, dari penjelasan pak Roman bisa kuselesaikan semua misteri ini, Pak Roman memang bersalah karena memakai cara yang tidak wajar untuk mendapatkan kekayaan, taruhan yang harus dia bayar sangat mahal, dan bahkan makhluk itu makin menjadi-jadi dengan keluar memburu anak-anak desa. Pahit rasanya aku harus meninggalkan Ibu dan adikku yang aku sayangi, segala macam cara akan kulakukan untuk memperingati keluargaku agar pindah dari desa. Makhluk itu terlalu kuat untuk dikendalikan.



tamat

Hallo sahabat, salam

Hallo semua,

saya menghadirkan blog yang berisikan beberapa cerita pendek hasil buatan saya sendiri.

mohon kritik dan saran kawan-kawan guna menambah wawasan saya sebagai penulis maupun sebagai blogger pemula.

terimakasih